Vibe Coding dan Orang-orang Biasa yang Mendayagunakan AI
AI membuka banyak kemungkinan baru bagi orang-orang biasa. Mereka yang tak punya kemampuan koding pun kini bisa membangun website dan aplikasi dengan bantuan mesin cerdas itu.
Beberapa pekan lalu, saya membaca tulisan Raihan Khairunnisa di Substack yang menceritakan pengalamannya membuat website dengan bantuan kecerdasan buatan (AI). Khairunnisa mengaku tak memiliki latar belakang pendidikan koding, tetapi dengan bantuan AI, dia akhirnya bisa membangun website untuk mempromosikan proyek parfum yang ia kembangkan bersama kawannya.
Dalam tulisannya, Khairunnisa bercerita menggunakan Claude AI, platform kecerdasan buatan milik Anthropic, untuk membantu membangun website. Namun, sebelum meminta bantuan AI, dia membuat perencanaan dengan sangat matang mengenai situs yang ingin dibuatnya.
Ia merencanakan dengan detail apa saja isi website itu, warna apa yang digunakan, juga font yang bakal dipakai. Sesudah perencanaan itu jadi, dia mulai meminta bantuan Claude untuk menulis kode yang menjadi fondasi website-nya.
Tentu saja, proses ini tidak berlangsung mulus karena ada sejumlah masalah yang muncul. Salah satunya karena dia memakai Claude versi gratisan yang punya banyak keterbatasan. Namun, seperti yang bisa kita baca dari tulisannya, Khairunnisa akhirnya berhasil mengatasi berbagai masalah itu sehingga website-nya pun berhasil diluncurkan.
Di kalangan pengguna AI, praktik yang dilakukan Khairunnisa kerap disebut sebagai vibe coding. Istilah ini merujuk pada pengembangan software atau perangkat lunak, termasuk aplikasi dan website, yang sebagian besar prosesnya dilakukan dengan bantuan AI. Dalam proses vibe coding, manusia hanya memberikan perintah atau prompt, sedangkan proses penulisan kode untuk membangun software dilakukan oleh AI.
Dalam praktik vibe coding, kita tak perlu memahami bahasa pemrograman untuk bisa mengembangkan software. Sebab, kita bisa memberi perintah pada AI dengan bahasa alamiah manusia—seperti bahasa Inggris atau bahasa Indonesia—lalu AI akan menerjemahkan perintah tersebut ke dalam kode-kode sesuai kaidah bahasa pemrograman.
Itulah kenapa, kalau kita lihat di YouTube atau X, banyak orang berani mengklaim bahwa mereka berhasil membangun sebuah software tanpa menulis kode sama sekali.
Istilah vibe coding diperkenalkan oleh Andrej Karpathy, salah seorang pendiri OpenAI yang kemudian keluar dari perusahaan tersebut, dalam sebuah twit pada Februari lalu. Dalam cuitan itu, Karpathy mengisahkan pengalamannya melakukan vibe coding menggunakan Cursor, salah satu AI coding tools yang paling populer saat ini.
Sebenarnya, sebelum twit Karpathy, praktik mengembangkan software dengan bantuan AI sudah dikenal. Sejumlah orang, termasuk para influncer yang gemar membuat konten tentang AI, sudah kerap mengenalkan praktik tersebut dalam konten-konten yang diunggah ke media sosial.
Namun, waktu itu, praktik tersebut belum memiliki nama yang disepakati secara luas. Setelah twit Andrej Karpathy yang viral, istilah vibe coding akhirnya menjadi “nama resmi” dari praktik koding dengan bantuan AI ini.
Alat untuk vibe coding
Fenomena vibe coding tak bisa dilepaskan dari pengembangan model bahasa besar (large language model/LLM) yang memiliki kemampuan untuk koding. Tren ini makin berkembang setelah munculnya sejumlah AI coding tools yang memungkinkan kita membuat website atau aplikasi tanpa harus mempunyai kemampuan koding.
Secara umum, ada beberapa jenis AI coding tools yang saat ini banyak digunakan. Yang pertama adalah AI coding tools yang diakses melalui browser, seperti Lovable, Bolt, Replit, v0, Base44, Firebase Studio, dan sebagainya.
Yang kedua berupa aplikasi integrated development environment (IDE), seperti Cursor, Windsurf, dan Trae. Masih dalam konteks IDE, ada sejumlah coding tools yang terintegrasi dengan Visual Studio Code sebagai IDE, misalnya GitHub Copilot, Cline, dan Gemini Code Assist.
Selain itu, sejumlah perusahaan AI mengembangkan AI coding tools yang bisa diakses melalui terminal di komputer. Anthropic mengembangkan Claude Code, OpenAI memiliki Codex, disusul Google yang memperkenalkan Gemini CLI.
Di sisi lain, seperti pengalaman Khairunnisa, sebagian orang juga memanfaatkan platform asisten AI, seperti ChatGPT, Gemini, Claude, dan lain-lain, untuk membantu koding. Meskipun platform semacam ini tidak khusus dirancang untuk koding, melainkan lebih sebagai asisten untuk tugas-tugas umum, beberapa platform itu tetap bisa membantu untuk koding.
Setiap jenis AI coding tools memiliki karakteristik yang berbeda dan masing-masing memiliki kelebihan dan keterbatasan. Oleh karena itu, sebelum memilih salah satunya, kita sebaiknya membaca dokumentasi resmi platform tersebut serta menonton tutorial di YouTube guna mengetahui cara kerja alat itu.
Salah satu contohnya, beberapa platform seperti Lovable dan Bolt tidak memiliki layanan database dan autentifikasi bawaan. Oleh karena itu, jika aplikasi kita membutuhkan dua hal tersebut, kita harus mengatur integrasi dengan layanan pihak ketiga, seperti Supabase.
Sementara itu, sejumlah platform lain, misalnya Replit dan Base44, sudah menyediakan fungsi database dan autentifikasi sehingga integrasi dengan layanan pihak ketiga tak dibutuhkan. Namun, platform dengan banyak fungsi bawaan semacam ini biasanya memiliki banyak keterbatasan jika kita tak berlangganan paket berbayar.
Seperti keajaiban
Selama beberapa bulan terakhir, saya cukup intens belajar vibe coding dengan mencoba beragam AI coding tools. Dengan beragam alat dan metode, saya mengembangkan beberapa aplikasi berbasis website atau web app sederhana.
Saya pernah mengembangkan note taking app atau aplikasi untuk menyimpan catatan, Kalkulator Lari untuk membandingkan catatan waktu lomba lari, Chat X PDF untuk memudahkan pengguna memahami isi file PDF, hingga Sign PDF untuk menandatangani dokumen PDF.
Sebagian aplikasi itu kini mangkrak karena menggunakan backend dari Supabase dengan paket gratis. Konsekuensi dari paket gratis di Supabase adalah proyek kita bakal dinonaktifkan apabila sudah tidak aktif selama beberapa waktu.
Namun, ada juga aplikasi yang masih aktif hingga kini karena tak membutuhkan backend. Salah satunya adalah Sign PDF yang masih rutin saya gunakan karena saya kesulitan menemukan aplikasi untuk menandatangani dokumen PDF yang gratis, tanpa iklan, dan praktis. (Silakan gunakan aplikasi itu jika membutuhkan, dokumen Anda tetap aman karena hanya disimpan di memori browser yang Anda pakai).
Bagi saya yang tak punya pengalaman koding, berhasil mengembangkan aplikasi dengan AI terasa seperti keajaiban. Hingga tahun lalu, saya tak pernah membayangkan bakal bersentuhan dengan dunia software development karena latar belakang pendidikan dan pekerjaan saya sehari-hari jauh dari bidang itu.
Waktu itu, saya juga tak pernah punya bayangan bakal duduk berjam-jam di depan laptop untuk memoloti kode-kode di VS Code, mencermati catatan eror yang terjadi saat aplikasi berjalan di localhost, atau berteriak kegirangan setelah sebuah aplikasi berhasil di-deploy di Vercel atau Netlify.
Pengalaman itu, juga kisah yang disampaikan Khairunnisa saat mengembangkan website, menunjukkan bahwa AI punya manfaat besar bagi orang-orang biasa seperti saya. Dengan AI, kita bisa belajar hal-hal baru dengan cepat dan menguasai keterampilan yang tak pernah kita bayangkan bakal kita miliki.
Meski begitu, saya juga menyadari bahwa praktik vibe coding punya banyak keterbatasan. Tanpa kemampuan koding dan pengetahuan mumpuni ihwal software development, sulit bagi para vibe coders seperti saya untuk mengembangkan—apalagi memelihara—sebuah aplikasi komersial yang bisa digunakan oleh banyak pengguna. Menurut saya, vibe coding lebih cocok untuk mengembangkan aplikasi sederhana yang dipakai pribadi atau aplikasi dengan pengguna yang berjumlah sedikit.
Oleh karena itu, saya termasuk yang tak sepakat dengan pendapat bahwa tren vibe coding bakal membuat para developer kehilangan pekerjaan. Sebab, kita masih sangat membutuhkan developer jika ingin membuat aplikasi yang kompleks dan dipakai oleh banyak pengguna.
Di sisi lain, walaupun punya banyak keterbatasan, vibe coding menjadi bukti nyata manfaat AI, terutama bagi orang-orang biasa yang ingin mempelajari keterampilan baru.