Menulis dengan AI: Layar Penuh, tetapi Pikiran Kosong
Menulis memaksa kita untuk berpikir secara sistematis, sesuatu yang mungkin akan jadi kemewahan saat dunia didominasi oleh AI.
Writing is thinking. Kalimat itu merupakan judul tulisan editorial Jurnal Nature Reviews Bioengineering yang dipublikasikan secara daring pada 16 Juni 2025. Saya pertama kali melihat tulisan tersebut dari postingan Derek Thompson di media sosial X yang mengunggah tangkapan layar versi PDF tulisan itu.
Mantan jurnalis The Atlantic itu pun mengaku setuju dengan tulisan tersebut. Menurutnya, menulis bukanlah sesuatu yang terjadi setelah berpikir. "Tindakan menulis adalah tindakan berpikir. Menulis adalah berpikir," kata Derek yang sekarang aktif menulis di Substack.
Oleh karena itu, mereka yang menggunakan teknologi kecerdasan buatan (AI), khususnya large language model (LLM), untuk menulis, berarti secara sengaja telah meniadakan proses berpikir dalam proses menghasilkan tulisan. "Mahasiswa, akademisi, dan siapa pun yang menyerahkan tugas menulis mereka kepada LLM akan mendapati layar mereka dipenuhi kata-kata, namun pikiran mereka kosong," ujar Derek.
Tulisan editorial Jurnal Nature Reviews Bioengineering yang saya singgung di atas memang membahas ihwal pentingnya menulis, terutama dalam konteks menulis artikel ilmiah untuk menjelaskan tentang hasil penelitian. Tulisan itu menyatakan, menulis artikel ilmiah adalah bagian integral dari metode ilmiah dan praktik umum untuk menyampaikan temuan penelitian.
Namun, menulis artikel ilmiah bukan sekadar untuk melaporkan hasil penelitian, tetapi juga menjadi cara untuk mengungkapkan pemikiran dan gagasan baru. "Menulis memaksa kita untuk berpikir—bukan dengan cara yang kacau dan tidak terstruktur seperti biasanya pikiran kita bekerja, melainkan secara sistematis," demikian penulis editorial itu menyampaikan.
Itulah kenapa, editorial tersebut mengajak para peneliti untuk melanjutkan kerja-kerja menulis artikel ilmiah sebagai bagian dari aktivitas riset. Ajakan itu disampaikan di tengah berkembangnya kecerdasan buatan, terutama LLM, yang bukan hanya bisa memahami teks dengan bahasa alamiah manusia, tetapi mampu melakukannya dengan sangat cepat.
Tulisan editorial itu mengingatkan saya pada hasil penelitian MIT Media Lab tentang dampak penggunaan ChatGPT pada otak yang ramai dibahas beberapa waktu lalu. Riset tersebut mengindikasikan adanya utang kognitif pada orang-orang yang bergantung pada LLM untuk menulis esai.
Utang kognitif merupakan kondisi di mana ketergantungan berulang pada alat seperti LLM ternyata menggantikan proses kognitif yang memerlukan usaha untuk pemikiran mandiri. Dalam jangka panjang, hal ini bisa mengakibatkan turunnya kemampuan berpikir kritis dan kreativitas.
Susah dibendung
Meski begitu, tren pemanfaatan AI dalam beragam aktivitas, termasuk menulis, tampaknya bakal susah dibendung. Bahkan, sejumlah aplikasi untuk menulis dan mengelola dokumen kini mengintegrasikan AI dalam layanan mereka.
Beberapa waktu lalu, saya menemukan sebuah aplikasi content management system (CMS) yang dilengkapi AI untuk membantu menulis. Di aplikasi itu, pengguna bisa menulis beberapa kalimat, lalu AI akan menyarankan lanjutan dari kalimat tersebut. Pengguna bisa memilih untuk menyetujui kalimat yang disarankan AI atau tidak. Jika dia memilih menyetujui saran AI lalu berubah pikiran, pengguna bisa mengeditnya.
Di aplikasi tersebut, kalimat-kalimat yang disarankan AI itu berasal dari dokumen yang telah diunggah oleh pengguna sebelumnya. Jadi, saran-saran yang disampaikan AI bukan murni berasal dari data pelatihan sebelumnya. Oleh karena itu, dalam proses ini, memang masih ada campur tangan pengguna untuk turut menentukan saran yang disampaikan AI.
Di aplikasi lain yang disebut sebagai AI document editor, integrasi kecerdasan buatan makin terasa. Di aplikasi tersebut, kita bisa meminta AI untuk mengedit kalimat atau paragraf yang telah kita tulis secara langsung.
Bahkan, kita bisa menambahkan instruksi tertentu terkait cara AI mengedit, misalnya membuat kalimat menjadi bergaya informal atau mengubah paragraf yang sebelumnya terdiri dari tiga kalimat menjadi lima kalimat. Aplikasi itu juga dilengkapi fitur autocomplete berbasis AI serta chatbot yang bisa memberi masukan tentang tulisan kita.
Saya juga tengah mencoba sejumlah aplikasi menulis tanpa distraksi yang biasa digunakan untuk freewriting, yakni praktik menulis bebas tanpa terlalu memedulikan ejaan, gaya bahasa, struktur kalimat, dan sebagainya.
Aplikasi untuk freewriting biasanya memiliki tampilan yang minimalis agar pengguna bisa fokus menulis tanpa harus ribet mengatur format teks dan sebagainya. Aplikasi semacam itu biasanya juga dilengkapi dengan timer atau pengatur waktu untuk memudahkan pengguna menulis secara fokus dalam rentang waktu tertentu.
Yang menarik, sejumlah aplikasi untuk freewriting itu ternyata tetap dilengkapi fitur berbasis AI. Salah satu aplikasi bernama Freewrite, misalnya, dilengkapi fitur untuk mendiskusikan teks yang kita tulis dengan ChatGPT dan Claude. Dengan sekali klik, fungsi itu akan mengirim tulisan kita ke salah chatbot tersebut.
Setelah itu, dengan prompt tertentu yang telah disiapkan, ChatGPT atau Claude akan memberi tanggapan terhadap tulisan kita. Kita pun bisa meminta masukan lebih lanjut soal tulisan itu, meminta ChatGPT atau Claude mengedit tulisan tersebut, atau bahkan memintanya menulis ulang.
Aplikasi lain bernama Lumowrite, yang sangat mirip dengan Freewrite, juga memiliki fungsi untuk mengirim tulisan ke ChatGPT. Selain itu, Lumowrite dilengkapi fitur chatbot bawaan sehingga kita bisa meminta masukan kepada AI tentang tulisan kita tanpa harus beralih ke aplikasi lain.
Meskipun dilengkapi sejumlah fitur berbasis AI, sejumlah aplikasi freewriting itu membatasi keterlibatan AI dalam proses penulisan. Bahkan, di Freewrite, kita hanya bisa mengirim tulisan ke AI setelah mengetik minimal 5 menit. Aturan ini mungkin dibuat untuk memaksa kita tetap menulis dengan tangan dan pikiran sendiri sebelum meminta saran dari AI.
Tulis
Setelah melihat Freewrite, saya tergerak untuk mencoba membuat aplikasi yang mirip untuk freewriting. Dengan bantuan sejumlah tools AI, saya melakukan vibe coding untuk mengembangkan aplikasi bernama Tulis, semacam versi Indonesia dari Freewrite.
Seperti Freewrite, Tulis saya buat dengan tampilan seminimalis mungkin. Bagian terbesar dari aplikasi ini adalah text area untuk menulis, sedangkan tombol-tombol lain dibuat sekecil mungkin agar tak mendistraksi.
Berbeda dengan Freewrite dan Lumowrite yang mengumpulkan seluruh tombol—dari jenis dan ukuran font, dark mode, full screen, timer, hingga chat dengan AI—di bagian bawah layar, Tulis membagi tombol di dua lokasi, yakni bagian atas dan bawah layar. Namun, saat pengguna mulai menulis, tombol di bagian header atau atas layar akan tertutup otomatis untuk membuat tampilan tetap minimalis.
Perbedaan lainnya adalah pada karakter text area. Di Freewrite dan Lumowrite, kotak teks hanya bisa digunakan untuk mengetik tulisan dengan format plain text sehingga kita tak bisa membuat teks dengan format cetak miring atau tebal.
Sementara itu, Tulis dilengkapi kotak teks dengan rich text format sehingga bisa menerima beragam format teks, dari cetak miring, tebal, garis bawah, beberapa jenis heading, hingga bullet dan numbering. Tulis juga dilengkapi dengan floating menu yang bakal muncul saat pengguna sebagian teks disorot serta slash command yang bisa dimunculkan dengan mengetik “/”.
Apakah Tulis memiliki fitur berbasis AI? Jawabannya iya, tetapi AI di Tulis memiliki peran yang sangat kecil, yakni untuk mengecek kesalahan ejaan atau typo. Saat kita klik ikon dengan simbol huruf A di bagian kanan atas aplikasi, LLM bakal menganalisis tulisan untuk menemukan typo atau salah ejaan, lalu menyarankan perbaikan.
Menurut saya, fitur pengecek typo ini penting karena saat melakukan freewriting, kita memang kerap—atau bahkan harus—mengabaikan kesalahan ejaan dan salah ketik. Oleh karena itu, pengecek typo berbasis AI bisa sangat membantu jika kita ingin mengedit tulisan. Namun, berdasarkan pengalaman saya memakai Tulis, saran dari AI soal typo ini kadang tak bisa dipercaya. Sebab, kadang AI memberi saran untuk mengganti kata yang sebenarnya sudah benar.
Pengalaman inilah yang meneguhkan pendirian saya untuk tak menyerahkan pekerjaan menulis pada AI. Sebab, kalau untuk hal teknis seperti typo saja AI masih sering salah, mengapa kita harus menyerahkan tugas menulis secara keseluruhan kepadanya?
***
Oya, kawan-kawan yang ingin mencoba Tulis bisa klik di sini.


